Total Tayangan Halaman

Rabu, 07 September 2016

Puncak Ibadah Haji, Arafah Hingga Mina



8 Dzulhijah 1436H, waktu sholat Zuhur kami dipersiapkan dalam rombongan bus secara acak menuju Padang Arafah, tempat salah satu puncak ibadah haji, wukuf, diadakan. Saya melengkapi diri dengan tas tentengan dan ransel buntut kesayangan. Pakaian insya Allah mencukupi untuk 5 hari kedepan. Kami akan menghabiskan waktu di tenda Padang Arafah hingga malam esok harinya, lanjut mabid di Muzdalifah hingga setelah subuh, dan 3 hari di Mina untuk melontar jumroh. Puncak haji dilakukan secara berkelompok dan selalu bersama, untuk kenyamanan maka atribut KBIH harus selalu dipakai.

Muzdalifah

Berbeda dengan di Mekkah dan Madinah. Akomodasi di Padang Arafah adalah tenda semi permanen. Tenda dibagi berdasarkan kelompok penerbangan. Satu tenda cukup untuk direbahi bahu ketemu bahu seluas 55 orang jemaah. Hijab wilayah antara jemaah laki dan perempuan adalah tas bawaan kami. Kamar mandi semi permanen disediaan cukup memadai.   Diperlukan ekstra sabar dan kelapangan hati ketika menggunakan fasilitas mck. Karena dalam keadaaan ihram, maka isu mck jadi momok  ketika akan buang air, sebagian jemaah memilih untuk tidak mandi demi menjaga ihram. saya pribadi memilih untuk guyur badan tanpa sabun karena sudah ga tahan dengan bau sedep sedep yang melekat di badan.   Malam jam 12-an kami menuju Muzdalifah.

suasana di tenda Padang Arafah

Kami sampai di Muzdalifah, 10 Dzulhijah sekitar pukul 1 pagi.   Tempat ini adalah persinggahan jemaah untuk mengumpulkan kerikil/batu melontar jumroh dan diharuskan mabid (menginap) walau cuma beberapa jam. Padang pasir di sini secara harfiah memang lautan pasir yang mampu menampung ribuan jemaah tanpa ada bangunan permanen apapun untuk berteduh. Kami mabid beralaskan tikar, karton, plastik sampah hitam yang kami bawa dari hotel dan beratapkan langit. Penerangan berasal dari lampu tiang dan bangunan toilet yang ada.  kondisi diatas tak menghalangi kami untuk tidur lelap beberapa jam. Menjelang subuh kami sudah bersiap kembali dalam antrian bus menuju Mina.

Tidak jauh berbeda dengan tenda di Arafah, tenda di Mina juga adalah tenda semi permanen dengan kondisi lebih bagus, hijab/ pembatas lebih jelas , mck lebih banyak dan memadai, walau masih dengan luas yang kalau tiduran tempel bahu dan bahu antar jamaah.layaknya lingkungan hunian  diluar pagar tenda (tenda dijaga oleh petugas/ jd tidak bisa masuk dan keluar ketika bukan jadwal melontar) terdapat pedagang, baik kaki 5 dan makanan.
 
Kami berada di Mina selama 3 hari untuk melontar jumroh. Inilah tantangan ibadah fisik dan mental lainnya. Dengan penginapan yang berjarak 700m dari pintu/terowong menuju tempat melontar jumroh/jemarat maka jarak tempuh jalan kaki kurang lebih 8km (pulang pergi). Track tempuh menuju jamarat adalah jalanan beton permanen bagus dan dibuat dua arah dan mampu menampung ribuan manusia disaat bersamaan. Jemaah dibagi per negara untuk menentukan waktu melontar. Jemaah Asia Tenggara biasanya mendapat jatah melontar di waktu bukan pilihan atau waktu utama, menghindari pertemuan dengan jemaah yang berbadan lebih besar. Tapi dalam kenyataan beberapa jemaah tetap mengikuti waktu afdhol. Sempet menciut nyali di hari melontar jumrah aqobah. tak dinyana kami berada di jam yang sama disaat musibah Mina 2015 terjadi. Hari kedua dan ketiga mental kami terpengaruh dengan pemberitaan yang justru kami dapat dari tanah air.

ah, sungguh ibadah ini ibadah fisik dan mental.