Setelah berhasil
menyocokan jadwal dengan 3 orang lainnya yaitu Arief mantan teman kantor, Eva teman
melingkar, Wiwiek temen komunitas akhirnya saya berangkat juga ke Dieng tanggal 21-22 Juni 2014. Bertiga kami kemudian karena keadaan
memutuskan berangkat Sabtu pagi hari dari senen jam 7:20 dengan kereta ekonomi
Fajar Utama tujuan Yogya, turun di Purwokerto tepat pukul 12:45, 15 menit telat
dari jadwal. Selesai sholat di musholah
Stasiun, kami makan siang di warteg depan stasiun persis di bawah jembatan posisi
sebelah kiri, yang jualan 2 ibu setengah baya. Oh iya, di sini saya pilih
menu pecel lontong (4k) ditaburi tempe sayur (tempe orek basah), plus telur
dadar mirip sarang burung, kata si ibuk yang jualan khas Purwokerto, bersama
temen yang makan 2 soto, 1 pecel, 2 telur dadar, 2 teh manis, jumlah bon makan
siang kami 36k saja. Murce. Saya pribadi suka dengan pecel lontongnya, bumbu
ok, sayur tidak terlalu nyampah, dan pas di perut.
makan siang pecel lontong tabur tempe sayur dan telor gimbal |
Dari depan warteg ini kami naik angkot k1 (atau G2 juga bisa
kata pemilik warteg) tujuan terminal. Dengan tarif 3k kami sampai di terminal
dalam waktu 20 menit di tengah guyuran hujan. Sampai terminal saya sempat kaget
mendengar informasi dari kernet Bis Cebong Jaya bahwa jarak tempuh
Purwokerto-Wonosobo adalah 4 jam. Wahhh, alhamdulillah tadi ga molor waktu
menuju terminal karena sempat mendapat informasi bahwa jarak tempuh Cuma 1 jam,
ok ini salah baca informasi tepatnya. Dengan ongkos 25rb, bis tanpa AC ini
berjalan terasa lama karena sepertinya bis ini juga berfungsi seperti angkot
antar kota, Purwokerto-Wonosobo 4 jam tempuh dengan gaya berhenti angkot. Sampai Wonosobo kami diberhentikan
diperempatan tengah kota, menurut info si kernet kami akhirnya jalan ke arah
Pasar, untuk kemudian naek bis menuju Dieng. Jam saat itu menujukkan 17:30
dengan gaya meyakinkan kernet bilang bis yang berukuran kopaja yang telah
sumpel dengan penumpang dan isinya melebihi kapasitas ini adalah bis terakhir yang menuju Dieng. Dasar
anak Jakarta skeptisan, pakai nanya ongkos, si kernet sok malak bilang ongkos
15rb dan kalau pakai tas jadi 20rb. What on earth?!. Si Supir yang kasian akhirnya
bilang bahwa kami hanya perlu bayar 10rb, ongkos resmi bis tersebut. Kontur
jalan Wonosobo relatif menanjak dan curam, lebih ekstrim dibandingkan kontur
jalan Padang-Bukit Tinggi.
Yap, karena trip ini go show, kamipun langsung menuju
penginapan Bu Jono begitu turun dari
bis, agak nyesel juga karena sebenarnya penginapan homestay di sebelah
kelihatan lebih bersih. Tapi kondisi kamar ukuran 2x3m yang bertarif 105 (tarif 75k plus 30rb ekstra bed) lumayan
buat ditiduran, kamar mandi luarnya pun lumayan bersih dilengkapi air panas. sebelumnya kami makan mie ongklok, cemilan tempe kemul, geblek (mirip aci goreng) dan nasi goreng jamur Bu Jono yang menurut saya pricey.
sayang ga mampir di warung makan makan belakangnya, sepertinya pilihannya lebih banyak, ada sup jamur juga.
nasi goreng jamur, tempe kemul, geblek, mie ongklok |
Lagi, karena sudah kecapaian, hampir 12 jam dalam perjalan
kami kemudian akhirnya memutuskan untuk menyewa mobil sekalian sebagai kendaraan untuk balik lagi ke
terminal Purwokerto keesokan harinya. Nett seharga 950k. Ini termasuk trip ke Sikunir+ telaga warna+candi
Arjuna+ Teater Dieng Plateu+ singgah mampir di Wonosobo dan mengantar kami ke
Purwokerto.
Minggu Jam 3 pagi kami bersiap-siap menuju Sikunir, 20
menit menuju Sikunir melewati jalanan yang agak berlubang kami
disambut oleh puluhan orang yang sudah siap . Di parkiran kami sempat sholat
subuh keawalan (pastikan sudah dalam keadaaan wudhu keluar dari penginapan
karena antrian toiletnya sangat panjang) . Saya pribadi siap dengan kaos thermal atas bawah, celana bahan, kaos
panjang dan jaket kebanggaan berwarna merah Kalau bisa sertai juga dengan
senter, walau banyak rombongan yang membawa senter tapi kadang beberapa kali
sempat berhenti karena kehilangan cahaya
, oh ya lupakan wedges (sempet mau berwedges..hahha) , pastikan memakai bersepatu
nyaman, atau bersendal jepit seperti saya yang dibeli di warung
depan penginapan. jalan landai
berbatu kadang terasa sakit di kaki,
atau tanjakan tajam butuh pijakan kaki yang oke.
Untuk yang sering naik gunung mungkin hanya butuh waktu 30
menit tidak seperti kami yang butuh waktu hampir satu jam.
Sampai di puncak Dieng jam 5:16 hampir semua titik menghadap
matahari terbit sudah diduduki oleh
pengunjung, juga ada beberapa kemah yang didirikan, tampaknya mereka
bermalam di sini.
Alhamdulillah, satu lagi dalam keranjang impian bisa
digeser, melihat matahari terbit di Dieng. A list comes true. Saat itu matahari
tidak bulat, sepertinya malu menampakan wujud bulat sempurnanya tapi, hei, saya
ada di puncak tertinggi di desa tertinggi dpl di Pulau Jawa, how cool is that?
Perjalanan selanjutnya ke Sikadang, Batu Ratapan Angin yang
berada dibelakang Teater Dieng Plateu
untuk melihat Telaga Warna, Telaga Warna dan Candi Arjuna.
Sikadang |
Yang paling saya suka di Sikadang adalah: pasar
tradisionalnya. Kentang dan jamur goreng
yang dicari dari pagi akhirnya ditemukan disini dan kemudian ada di semua destinasi wisata di sini. Beli yang rasa plain aja, tidak perlu dibumbui dengan taburan msg berwarna mengerikan itu, rasanya udah okeh kok. Kentang atau jamur ini bisa dibeli dengan
harga Rp 5.000 atau Rp 10.000. Saya suka pasar tradisional, kalau ga ingat
dengan ransel, di sini hampir mau beli kentang 2kg karena melihat kesegarannya.
Ada kentang merah juga. Pantesan dieng merupakan merupakan kota penghasil
kentang terbesar di Indonesia.
Tujuan selanjutnya
adalah Teater Dieng Plateu, di sini kami menonton asal usul Dieng dan potensi
wilayahnya, film dokumenter berdurasi 20 menit ini diputar di layar besar
semacam layar tancap. Cukup menarik despite fasilitasnya.
Sebelum ke Teater kami menyempatkan diri mampir ke Batu
Ratapan Angin. Semacam point view kota Dieng dengan hits viewnya, Telaga Warna.
Cuma berjarak tempuh 5 menit dari teater cukup takjub dengan view perbukitan
Dieng dari sini, keren. Kudu ke sini pokoknya kalau ke Dieng yah.
Dikejar waktu kami kemudian menuju Telaga Warna dan Candi Arjuna. Karena kami menargetkan jam
1 sudah menuju Purwokerto kami tidak terlalu berlama-lama dan beringsut ke
mobil menuju penginapan.
Di Wonosobo kamipun menodong guide kami membawa kami ke mie
Ongklok.
Mie yang dicampur dengan kol dan siramin kuah kental dan daun kuai ini ternyata berbeda bentuk
penyajian dan porsi dengan yang kami makan di depan penginapan di Dieng, selain
porsi yang lebih kecil Mie Ongklok
Longkrang ini disajikan dalam porsi lebih kecil, kuahnya tanpa irisan tahu ,
dan di sini pemburu kuliner memakan mie ongklok dengan sate daging sapi yang
diberi kecap dan sedikit bumbu kacang kental. Dengan 5 mangkok mie ongklok, 2
porsi sate@ 10 tusuk, 2 teh manis, 11 gorengan tempe kemul, cukup dihargai
dengan 67rb. Tempe kemul adalah gorengan yang kami gilai sejak kami menginjak
kaki di Dieng.
di Mie Ongklok Longkrang yang antri plus pelayanan butuh stok sabar, but it worth the wait |
Tempe kemul mirip sepaham
dengan tempe mendoan, bedanya tempenya Cuma sepotong kecil, tidak memakai daun
bawang seperti mendoan tapi berlimpah daun kucai, dan adonan tepung yang
sepertinya ada campuran tepung beras dan sedikit kanji sehingga tekstur
gorengannya menghasilkan sensasi kriuk dan agak kasar. Wuihh....reviewnya udah
ala food tester. :D
di Dieng kami beli oleh-oleh wajib, carica!. di Purwokerto kami mampir ke Getuk Goreng H. Tohirin, duh getuk panas dinikmati es dawet yang nongkrong di depan nya. nikmaatnya ga ketara.getuk goreng setengah kilo dbandrol 11k sedangkan segelas dawet ayu 4k.
Carica versi baru dengan sirup bit, ga ngaruh juga sih, secara cuma suka makanin isinya. hehheh |