Total Tayangan Halaman

Jumat, 27 Juni 2014

Dieng, Impian setelah 2 tahun tertunda

 

Setelah berhasil menyocokan jadwal dengan 3 orang lainnya  yaitu Arief mantan teman kantor, Eva teman melingkar, Wiwiek temen komunitas  akhirnya saya berangkat juga ke Dieng tanggal 21-22 Juni 2014. Bertiga kami kemudian karena keadaan memutuskan berangkat Sabtu pagi hari dari senen jam 7:20 dengan kereta ekonomi Fajar Utama tujuan Yogya, turun di Purwokerto tepat pukul 12:45, 15 menit telat dari jadwal.  Selesai sholat di musholah Stasiun, kami makan siang di warteg depan stasiun persis di bawah jembatan posisi sebelah kiri, yang jualan 2 ibu setengah baya. Oh iya, di sini saya pilih menu  pecel lontong (4k) ditaburi tempe sayur (tempe orek basah), plus telur dadar mirip sarang burung, kata si ibuk yang jualan khas Purwokerto, bersama temen yang makan 2 soto, 1 pecel, 2 telur dadar, 2 teh manis, jumlah bon makan siang kami 36k saja. Murce. Saya pribadi suka dengan pecel lontongnya, bumbu ok, sayur tidak terlalu nyampah, dan pas di perut. 
makan siang pecel lontong tabur tempe sayur dan telor gimbal

Dari depan warteg ini kami naik angkot k1 (atau G2 juga bisa kata pemilik warteg) tujuan terminal. Dengan tarif 3k kami sampai di terminal dalam waktu 20 menit di tengah guyuran hujan. Sampai terminal saya sempat kaget mendengar informasi dari kernet Bis Cebong Jaya bahwa jarak tempuh Purwokerto-Wonosobo adalah 4 jam. Wahhh, alhamdulillah tadi ga molor waktu menuju terminal karena sempat mendapat informasi bahwa jarak tempuh Cuma 1 jam, ok ini salah baca informasi tepatnya. Dengan ongkos 25rb, bis tanpa AC ini berjalan terasa lama karena sepertinya bis ini juga berfungsi seperti angkot antar kota, Purwokerto-Wonosobo 4 jam tempuh dengan gaya berhenti angkot.  Sampai Wonosobo kami diberhentikan diperempatan tengah kota, menurut info si kernet kami akhirnya jalan ke arah Pasar, untuk kemudian naek bis menuju Dieng. Jam saat itu menujukkan 17:30 dengan gaya meyakinkan kernet bilang bis yang berukuran kopaja yang telah sumpel dengan penumpang dan  isinya melebihi kapasitas ini  adalah bis terakhir yang menuju Dieng. Dasar anak Jakarta skeptisan, pakai nanya ongkos, si kernet sok malak bilang ongkos 15rb dan kalau pakai tas jadi 20rb. What on earth?!. Si Supir yang kasian akhirnya bilang bahwa kami hanya perlu bayar 10rb, ongkos resmi bis tersebut. Kontur jalan Wonosobo relatif menanjak dan curam, lebih ekstrim dibandingkan kontur jalan Padang-Bukit Tinggi. 

Yap, karena trip ini go show, kamipun langsung menuju penginapan Bu  Jono begitu turun  dari bis, agak nyesel juga karena sebenarnya penginapan homestay di sebelah kelihatan lebih bersih. Tapi kondisi kamar ukuran 2x3m yang bertarif  105 (tarif 75k plus 30rb ekstra bed) lumayan buat ditiduran, kamar mandi luarnya pun lumayan bersih dilengkapi air panas. sebelumnya kami makan mie ongklok, cemilan tempe kemul, geblek (mirip aci goreng) dan nasi goreng jamur Bu Jono yang menurut saya pricey. 
sayang ga mampir di warung makan makan belakangnya, sepertinya pilihannya lebih banyak, ada sup jamur juga.  
nasi goreng jamur, tempe kemul, geblek, mie ongklok




Lagi, karena sudah kecapaian, hampir 12 jam dalam perjalan kami kemudian akhirnya memutuskan untuk menyewa mobil sekalian sebagai kendaraan untuk balik lagi ke terminal Purwokerto keesokan harinya. Nett seharga 950k. Ini  termasuk trip ke Sikunir+ telaga warna+candi Arjuna+ Teater Dieng Plateu+ singgah mampir di Wonosobo dan mengantar kami ke Purwokerto.

Minggu Jam 3 pagi kami bersiap-siap menuju Sikunir, 20 menit  menuju Sikunir  melewati jalanan yang agak berlubang kami disambut oleh puluhan orang yang sudah siap . Di parkiran kami sempat sholat subuh keawalan (pastikan sudah dalam keadaaan wudhu keluar dari penginapan karena antrian toiletnya sangat panjang) . Saya pribadi siap dengan  kaos thermal atas bawah, celana bahan, kaos panjang dan jaket kebanggaan berwarna merah Kalau bisa sertai juga dengan senter, walau banyak rombongan yang membawa senter tapi kadang beberapa kali sempat  berhenti karena kehilangan cahaya , oh ya lupakan wedges (sempet mau berwedges..hahha) , pastikan memakai bersepatu nyaman, atau bersendal jepit seperti saya yang dibeli  di  warung  depan penginapan.  jalan landai berbatu kadang terasa sakit di kaki,  atau tanjakan tajam butuh pijakan kaki yang oke.
Untuk yang sering naik gunung mungkin hanya butuh waktu 30 menit tidak seperti kami yang butuh waktu hampir satu jam.

Sampai di puncak Dieng jam 5:16 hampir semua titik menghadap matahari terbit sudah diduduki oleh  pengunjung, juga ada beberapa kemah yang didirikan, tampaknya mereka bermalam di sini.
Alhamdulillah, satu lagi dalam keranjang impian bisa digeser, melihat matahari terbit di Dieng. A list comes true. Saat itu matahari tidak bulat, sepertinya malu menampakan wujud bulat sempurnanya tapi, hei, saya ada di puncak tertinggi di desa tertinggi dpl di Pulau Jawa, how cool is that? 


Perjalanan selanjutnya ke Sikadang, Batu Ratapan Angin yang berada dibelakang  Teater Dieng Plateu untuk melihat Telaga Warna, Telaga Warna dan Candi Arjuna. 

Sikadang
Yang paling saya suka di Sikadang adalah: pasar tradisionalnya. Kentang  dan jamur goreng yang dicari dari pagi akhirnya ditemukan disini dan kemudian ada di semua destinasi wisata di sini. Beli yang rasa plain aja, tidak perlu dibumbui dengan taburan msg berwarna mengerikan itu, rasanya udah okeh kok.  Kentang atau jamur ini bisa dibeli dengan harga Rp 5.000 atau Rp 10.000. Saya suka pasar tradisional, kalau ga ingat dengan ransel, di sini hampir mau beli kentang 2kg karena melihat kesegarannya. Ada kentang merah juga. Pantesan dieng merupakan merupakan kota penghasil kentang terbesar di Indonesia. 

 Tujuan selanjutnya adalah Teater Dieng Plateu, di sini kami menonton asal usul Dieng dan potensi wilayahnya, film dokumenter berdurasi 20 menit ini diputar di layar besar semacam layar tancap. Cukup menarik despite fasilitasnya.
Sebelum ke Teater kami menyempatkan diri mampir ke Batu Ratapan Angin. Semacam point view kota Dieng dengan hits viewnya, Telaga Warna. Cuma berjarak tempuh 5 menit dari teater cukup takjub dengan view perbukitan Dieng dari sini, keren. Kudu ke sini pokoknya kalau ke Dieng yah. 

Dikejar waktu kami kemudian menuju Telaga Warna  dan Candi Arjuna. Karena kami menargetkan jam 1 sudah menuju Purwokerto kami tidak terlalu berlama-lama dan beringsut ke mobil menuju penginapan.


Di Wonosobo kamipun menodong guide kami membawa kami ke mie Ongklok. 
Mie yang dicampur dengan kol dan siramin kuah kental  dan daun kuai ini ternyata berbeda bentuk penyajian dan porsi dengan yang kami makan di depan penginapan di Dieng, selain porsi yang lebih kecil  Mie Ongklok Longkrang ini disajikan dalam porsi lebih kecil, kuahnya tanpa irisan tahu , dan di sini pemburu kuliner memakan mie ongklok dengan sate daging sapi yang diberi kecap dan sedikit bumbu kacang kental. Dengan 5 mangkok mie ongklok, 2 porsi sate@ 10 tusuk, 2 teh manis, 11 gorengan tempe kemul, cukup dihargai dengan 67rb. Tempe kemul adalah gorengan yang kami gilai sejak kami menginjak kaki di Dieng. 
di Mie Ongklok Longkrang yang antri plus pelayanan butuh stok sabar, but it worth the wait


Tempe kemul  mirip sepaham dengan tempe mendoan, bedanya tempenya Cuma sepotong kecil, tidak memakai daun bawang seperti mendoan tapi berlimpah daun kucai, dan adonan tepung yang sepertinya ada campuran tepung beras dan sedikit kanji sehingga tekstur gorengannya menghasilkan sensasi kriuk dan agak kasar. Wuihh....reviewnya udah ala food tester. :D


di Dieng kami beli oleh-oleh wajib, carica!. di Purwokerto kami mampir ke Getuk Goreng H. Tohirin, duh getuk panas dinikmati es dawet yang nongkrong di depan nya. nikmaatnya ga ketara.getuk goreng setengah kilo dbandrol 11k sedangkan segelas dawet ayu 4k.

Carica versi baru dengan sirup bit, ga ngaruh juga sih, secara cuma suka makanin isinya. hehheh




Senin, 02 Juni 2014

YangShuo

...tempat dimana streotype saya tentang saudara kita yang berasal dari etnis negara ini berubah,sisi humanisme mereka lebih terasa.